Thursday, May 22, 2008

Melihat dari Jauh

Seperti lagu yang dialunkan oleh Koes Plus, Indonesia memang bisa dibilang tanah surga. Keindahan dan kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan pada sudut Sabang sampai ujung Merauke memang aduhai (meski saya belum pernah melihat langsung). Tak perlu jauh-jauh, bahkan di sektar Yogyakarta dan Jawa Tengah saja banyak pemandangan yang menakjubkan. Serasa disuguhi tempat wisata di segala sudutnya.

Indahnya anugerah Tuhan tampaknya kurang diimbangi dengan tingkah laku ciptaan-Nya yang paling mulia, menarik Saya katakan demikian karena pengamatan saya sendiri ketika mengunjungi salah satu objek wisata yang cukup aduhai di Jawa Tengah. Ketep Pass, kawasan yang menyuguhkan pengalaman untuk melihat pemandangan alam dari pegunungan. Tentunya selain itu, masih ada objek andalan yaitu mengamati dua sejoli Merapi dan Merbabu dari gardu pandang yang telah disediakan. Indah memang, meski kala itu si kembar sedang berselimut mendung.

Namun pengalaman melihat jauh ke arah Merapi dan Merbabu, serta sawah yang terhampar di segala penjuru tidak diimbangi ketika sejenak kita menundukkan kepala. Melihat rerumputan yang ada di sela-sela kaki kita. Karya-karya diskomvis bertebaran di sana, tanah Ketep Pass menjadi media promosi gratis bagi Indomie dan sepupunya Pop Mie. Buka hanya oleh pengunjung yang mungkin masih (seharusnya tetap tidak) dimaklumi karena rasa kepemilikannya yang kurang, namun para pedagang yang kenyang-tidak perutnya hari ini bergantung pada pesona Ketep yang mendatangkan rombongan pengunjung juga berbuat sama, bahkan lebih parah.

Enaknya semangkuk Indomie hangat ditemani tempe goreng sambil disuguhi hawa sejuk dan pemandangan indah ternyata harus dibayar sangat mahal. Bukan oleh lembaran rupiah, tetapi oleh hamparan sampah. Manusia memang curang, kesadaran akan kebutuhannya untuk merawat kesehatan jiwanya melalui kegiatan berwisata tidak dibarengi dengan kesadaran untuk sekadar tidak mengotori alam tempat manusia mengistirahatkan jiwa. Tidak hanya membuang penat, karena ternyata juga membuang sampah sembarangan.

Lalu bagaimana dengan tempat sampah, tidak adakah mereka di Ketep, sehingga membuat para pengunjung dan pedagang seolah tak pernah mendengar anjuran buanglah sampah pada tempatnya kala duduk di bangku sekolah? Adakah usaha dari kawasan ini untuk menjaga kelestarian ligkungannya? Atau untuk sekadar mempertahankan keindahan alam yang menjadi suguhan utamanya? Atau mungkin kita para manusia memang sudah terlalu bandel?

Ini juga menarik, karena bagaimanapun juga sarana pendukung telah dibuat, utamanya untuk kebersihan. Manusia tetap saja nakal. Mencari kenikmatan sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang tentu saja sekecil-kecilnya. Bisa jadi mengulungkan sampah ke tempatnya menjadi hal yang butuh pengorbanan besar. Alasan tersebut boleh jadi sebagai pendukung gerakan buang sampah sembarang tempat.

Rasanya, berbicara muluk-muluk tentang lingkungan hidup menjadi percuma, jika menjaga kesadaran kita untuk tidak mengotorinya saja sudah sangat berat. Jangankan lingkungan sekitar kita tinggal, tempat yang kita sadari dan nikmati keindahnya dengan membayar sejumlah uang saja masih kita kotori. Jadi sekadar anjuran jika anda ingin menikmati keindahan wisata alam, buang pandangan anda sejauh mungkin. Mari melihat dari jauh saja, karena dari kejauhan kita bisa membayangkan betapa indahnya pesona alam tersebut tanpa perlu menemui promosi mi instan di bawah kaki anda. --,

1 comment:

Ade said...

hahahahahaaa


nyampah ya??



untung aq gak pernah nyampah, jadi gak kesindir baca blogmu..

iya tuh, dihukum aja yg nyampah..

diteplokin mi sekardus pas masi panas..

biar kapok!!!